Rabu, 23 Mei 2012

Pemimpin yang Adil


Semua orang bisa menjadi pemimpin. Namun, tidak semua orang mampu menjadi pemimpin yang adil. Sebab, pemimpin yang adil merupakan pemimpin yang didambakan oleh rakyatnya. Pemimpin yang adillah yang akan mampu membawa kebaikan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kita semua adalah pemimpin, setidak-tidaknya pemimpin bagi diri kita sendiri. Dan karena itu, maka setiap kita suatu saat akan mempertanggung jawabkan kepemimpinan kita itu.

Terlebih lagi sebagai pemimpin negara, orang yang dipercaya memimpin rakyatnya, diharapkan mampu memenuhi keingnan rakyat tersebut. Keadilan merupakan harapan terbesar bagi rakyat sebuah negara. Sering pula, masalah keadilan menjadi batu sandungan bagi seorang menjadi pemimpin.

Rasulullah saw menyatakan bahwa ada tiga orang yang tidak ditolak do’anya, yaitu orang yang berpuasa hingga ia berbuka, pemimpin yang adil, dan orang yang teraniaya (HR Ahmad dan Tirmidzi). Begitulah ketentuan Allah SWT bagi pemimpin yang adil. Do’a merupakan senjatanya umat manusia. Manusia yang tak mau berdo’a adalah manusia yang angkuh, sombong, serta balasannya tentu dosa.

Kembali kepada masalah peminpin. Untuk mendapatkan pemimpin yang adil ada beberapa hal yang harus kita perhatikan.

Pertama. Tidak menggunakan kekuasaannya untuk menindas orang-orang yang dipimpinnya. Banyak kejadian di dunia ini dimana pemimpinnya menjadikan rakyatnya sebagai budak. Rakyat dipaksa melakukan apapun yang diperintahkan oleh pemimpinnya demi kekuasaan, kekuatan, dan keserakahan pemimpinnya. Bagitu banyak rakyat yang terzhalimi hak-haknya hanya demi memenuhi ambisi pemimpinnya. Pemimpin yang seperti ini alih-alih membuat rakyatnya sejahtera, justru membawa penderitaan.

Kedua. Tidak menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri, keluarga, atau orang lain yang ada hubungannya dengan diri pemimpin tersebut. Banyak yang setelah diangkat menjadi pemimpin, setelah memimpin justru sibuk memperkaya diri, keluarga, dan orang-orang terdekatnya. Ia lupa dengan kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya, yang memerlukan bantuan dari sang pemimpin. Kepemimpinan selalu bersama dengan kekuasaan. Dengan kekuasaan tersebut seorang pemimpin dapat melakukan apa saja. Ia dapat melakukan sesuatu yang akan membawa kebaikan bagi rakyatnya atau justru sebaliknya. Begitu banyak kenyataan didepan kita, bagaimana seorang pemimpin yang justru terjebak pada usaha memperkaya diri sendiri.

Ketiga. Tidak menggunakan kekuasaannya untuk membuat aturan yang menguntungkan dirinya sendiri. Diantara pemimpin yang telah kita pilih, ada pemimpin yang mengatur sendiri aturan negara agar berpihak kepadanya. Peraturan perundang-undangan dibuat dan tafsir sesuai keinginannya. Pemimpin seperti ini justru akan membawa malapetaka bagi rakyatnya. Semua aturan harus disesuaikan dengan kepentingan sang pemimpin.

Keempat. Menjadikan hukum sebagai panglima. Sesungguhnya, masalah keadilan tidak hanya sebatas berhubungan dengan hukum semata. Tetapi, hukum merupakan tonggak pertama yang harus ditegakkan agar masalah-masalah yang lain dapat diselesaikan dengan baik. Apabila pemimpin menggunakan hukum sebagai alat untuk menindas rakyatnya, bersiap-siaplah untuk menuju kehancuran. Hukum menjadi senjata untuk melanggengkan kekuasaan. Pemimpin seperti ini merupakan merupakan iblis atau setan yang siap menjerumuskan rakyatnya kejurang kehancuran, penderitaan, dan keterbelakangan.

Kita tentu berharap bahwa pemimpin-pemimpin kita merupakan pemimpin yang adil. Kita juga berharap bawah selain do’anya orang yang berpuasa, do’anya orang yang teraniaya, do’anya para pemimpin akan dikabulkan oleh Allah SWT. Atau apakah belum adanya perubahan ke arah kemajuan yang kita cita-citakan selama ini karena beluma adanya pemimpin yang adil di negeri yang kita cintai ini ? Wallau ‘alam.


Pemimpin yang Adil Lahir dari Ketaatan Kepada Allah SWT

Seperti biasanya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab menghabiskan sebagian malamnya untuk meronda, melihat kondisi umat yang dipimpinnya dari dekat. Tak terasa malam terus beranjak. Fajar pun mulai terkuak. Ketika melewati sebuah gang, tiba-tiba ayunan langkahnya tertahan. Dari bilik sebuah rumah kecil, ia mendengar seorang ibu sedang bercakap dengan putrinya.

“Tidakkah kau campur susumu ? Hari sudah menjelang pagi,” kata ibu itu kepada anaknya. “Bagaimana mungkin aku mencampurnya Amirul Mukminin melarang perbuatan itu,” sahut si anak. “Orang-orang juga mencampurnya. Campurlah! Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” balas sang ibu. “Jika Umar tak melihatnya, Tuhannya Umar melihatnya. Aku tidak mau melakukan karena sudah dilarang,” Jawab si anak yang sungguh menyentuh hati Umar.

Setelah menyaksikan percakapan seorang ibu dengan anaknya tersebut, Umar bin Khattab bergegas pulang dan memanggil anaknya Asim untuk menikahi gadis tersebut dan disertai dengan ketaatan kepada ayahnya, maka Asim menyatakan kesediaannya. Saat itu Umar berharap seraya berkata "Semoga lahir dari keturunan gadis ini seorang pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.

Dari pernikahan Asim bin Umar bin Khattab dengan gadis anak dari wanita penjual susu tersebut terlahir seorang wanita bernama Laila atau yang lebih dikenal dengan Ummu Asim binti Asim, dan dari pernikahan Ummu Asim binti Asim dengan Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik, lahirlah Umar bin Abdul Aziz, yang sering disebut khalifah kelima setelah Ali bin Abi Thalib karena keadilannya.

Sahabat Ibnu Umar ra berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam rumah tangga, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinanya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Pembantu rumah tangga adalah pemimpin dalam menjaga harta kekayaan tuannya, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Dan setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Syarat-Syarat Menjadi Pemimpin

Dalam konteks kepemimpinan, Nabi Muhammad hanya meminta syarat agar seorang pemimpin bisa berlaku adil. Hal ini misalnya diceritakan oleh As Syaikhani yang meriwayatkan hadis tentang tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari pembalasan (akhirat). Dari tujuh golongan itu, pemimpin yang adil ditempatkan atau disebut pertama kali oleh Nabi.

Mungkin saja penempatan itu hanya sekedar redaksi perkataan dari Nabi. Artinya posisi dari ketujuh golongan itu tak ada yang lebih istimewa satu sama lain— ketika kelak akan menempatkan pertolongan Allah. Namun bisa jadi juga, diletakkannya pemimpin yang adil pada urutan pertama dari tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah, mengandung maksud untuk mengistimewakan kedudukan seorang pemimpin yang adil dibanding enam kelompok manusia lainnya. Jika diperhatikan dengan baik dari tujuh golongan manusia yang dijamin oleh Nabi akan memperoleh ampunan Allah itu, semuanya menyangkut urusan pribadi dengan Allah kecuali pemimpin yang juga berurusan dengan banyak orang (yang dipimpin).

Hadist yang lain, yang mengatakan bahwa setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya, harus diterjemahkan pula sebagai sebuah ancaman serius dari Allah dan Rasul terhadap pemimpin yang tidak berlaku adil. Sampai pada titik ini dapat dimengerti mengapa kedudukan pemimpin lalu menjadi istimewa. Dia dijanjikan akan masuk surga pertama kali, sekaligus diancam akan menjadi penghuni neraka juga dalam rombongan awal.

Adil sebagai pemimpin tak harus dipahami hanya dalam soal memutus sebuah perkara. Namun adil yang diminta kepada pemimpin adalah juga mencakup aspek kesanggupan untuk selalu menjaga amanah (jujur), tidak khianat, mampu melindungi yang dipimpin (tidak otoriter) dan perilakunya bisa menjadi contoh (memberi inspirasi). Termasuk adil, jika seorang pemimpin mengakui dirinya tak bisa memimpin lagi dan memberi kesempatan kepada yang ahli untuk menggantikkannya. Bukankah imam shalat yang kentut harus membatalkan shalatnya dengan mundur selangkah agar diganti makmun yang berdiri di belakangnya?

Syarat-syarat itu niscaya tak akan bisa dipenuhi oleh pemimpin manapun melainkan mereka yang berpegang teguh kepada ajaran Allah dan Rasulnya. Bercermin pada akhlaq Nabi, seorang pemimpin akan bisa berbuat adil jika paling tidak, mewarisi empat sifat Nabi. Empat sifat Nabi itu adalahA man ah (tidak korup),F athanah (cerdas),

Tabligh (mampu berdiplomasi), dan Siddiq (bnar, dipercaya atau jujur).

Dalam literatur lain malah ditambahkan beberapa syarat sebagai berikut :

1.Beriman dan beramal saleh. Ini sudah pasti tentunya. Kita harus memilih pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh.

2.Beril mu, Para pemimpin harus mempunyai ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu akherat. Karena dengan ilmu ini maka akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun spiritual, baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan manusianya itu sendiri.

3.Juj ur. Ya, seorang pemimpin tentunya harus jujur. Apa yang disampaikan kepada masyarakat tentunya harus dilaksanakan, dan apa yang dikatakannya hendaknya harus sesuai hendakyan dengan perbuatannya.

4.Te gas. Merupakan sikap seorang pemimpin yang selalu di idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan berarti otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah, SWT dan rasulnya.

5.A mana h, bertanggung jawab. Maksudnya adalah melaksanakan aturan-turan yang ada dengan sebaik-baiknya dan bertanggungjawab terhadap peraturan yang telah dibuat. Dan tentunya peraturan yang dibuat itu yang berpihak kepada rakyat.



ABU ‘UBAIDAH BIN JARRAH


             Wajahnya selalu berseri.  Matanya bersinar. Tubuhnya tinggi kurus. Badang bahunya kecil. Setiap mata senang melihat kepadanya. Dia selalu ramah tamah, sehingga setiap orang merasa simpati kepadanya. Disamping sifatnya yang lemah lembut, dia sangat tawadhu’ (rendah hati) dan sangat pemalu. Tetapi bila menghadapi suatu urusan penting, dia sangat cekatan bagaikan singa jantan bertemu musuh.  Dialah kepercayaan ummat muhammad. Namanya ‘Amir bin ‘Abdillah bin jarrah Al-Fahry Al-Qurasyi, dipanggil “Abu ‘Ubaidah”.
             ‘Abdullah bin ‘Umar pernah bercerita tentang sifatnya yang mulia, katanya:ada tiga orang kuraisy yang sangat cemerlang wajahnya, tinggi akhlak dan sangat pemalu. Bila bercerita, mereka tidak pernah dusta. Dan apabila orang bercerita kepada mereka, mereka tidak cepat-cepat mendustakan. Mereka itu iala: Abu Bakar Shiddiq, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Abu ‘Ubaidah bin jarrah.
               Abu ‘Ubaidah termasuk kelompok pertama yang masuk islam. Dia masuk islam di tangan Abu Bakar Shiddiq, sehari sesudah abu bakar masuk islam. Waktu itu beliau menemui Rasulullah SAW. Bersama-sama dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Utsman bin Mazh’un dan Arqam bin Abi Arqam untuk mengucapkan syahadat di hadapan beliau. Karena itu mereka tercatat sebagai tiang-tiang pertama dalam pembangunan mahligai islam yang agung dan indah. Dalam kehidupannya sebagai muslim, Abu ‘Ubaidah mengalami masa penindasan yang keras dari kaum quraisy terhadap kaum muslimin di makkah, sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama-sama kaum muslimin yang mula-mula, merasakan tindakan kekerasan, kesulitan dan kesedihan, yang tak pernah dirasakan oleh pengikut agama-agama lain di muka bumi ini. Walaupun begitu, dia tetap teguh menerima segala macam cobaan. Dia tetap setia dan membenarkan Rasulullah pada setiap  tenggangan orang disituasi dan kondisi yang berubah-rubah.
              Bahkan ujian yang dialami Abu ‘Ubaidah dalam peran badar, melebihi segala macam kekerasan yang pernah kita alami. Abu ‘Ubaidah turut berperang dalam perang badar. Dia menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Tetapi tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya kemana dia lari. Terutama seorang laki-laki, mengejar Abu ‘Ubaidah dengan sangat beringas kemana saja. Tetapi Abu ‘Ubaidah selalu menghindar dan menjauhkan diri untuk bertarung dengan orang itu. Orang itu tidak mau berhenti mengejarnya.
               Setelah lama berputar-putar, akhirnya Abu ‘Ubaidah terpojok. Dia waspada menunggu orang yang mengejarnya. Ketika orang itu tambah dekat kepadanya, dalam posisi yang tepat, Abu ‘Ubaidah mengayungkan pedangnya tepat di kepala lawan/musuh. Orang itu jatuh terbanting dengan kepalah belah dua. Musuh itu tewas seketika di hadapan Abu ‘Ubaidah. Siapakah lawan Abu ‘Ubaidah yang sangat beringas itu?
              Di   atas. Mungkin anda ternganga bilah mengetauhi musuh yang tewas di tangan Abu ‘Ubaidah itu taklain adalah “Abdillah bin Jarrah” ayah kandung Abu ‘Ubaidah.
               Abu ‘Ubaidah tidak membunuh bapaknya. Tetapi membunuh kemusyrikan yang bersarang dalam pribadih bapaknya. Berkenaan dengan kasus Abu ‘Ubaidah tersebut, Allah SWT. Berfirman sebagai tersebut :
              kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketauhilah sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (Qs. Al-Mujadalah: 22).
     
             Ayat di atas tidak menyebabkan Abu ‘Ubaidah membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusan kepada agama. Orang yang mendapat gelar “kepercayaan ummat muhammad” ini ternyata menarik perhatian orang-orang besar, bagaikan besi berani menarik logam di sekitarnya. Muhammad bin ja’far menceritakan, “pada suatu ketika utusan kaum nasrani datang menghadap Rasulullah, kata mereka, “ya, Aba Qasim! Kirimlah bersama kami seorang sahabat anda yang anda pandang cakap menjadi hakim tentang harta yang menyebabkan kami berselisih sesama kami. Kami senang menerima putusan yang ditetapkan kaum muslimin.”
                Jawab Rasulullah, “datanglah nanti depang, saya akan mengirimkan bersama kalian orang kuat yang terpercaya.” Kata ‘Umar bin Khathtab, “saya pergi shalat dhuhur lebih cepat dari biasa. Saya tidak ingin tugas itu diserahkan kepada orang lain, karena saya ingin mendapatkan gelar “orang kuat terpercaya”. Sesudah selesai shalat dhuhur, Rasulullah menengo ke kanan dari ke kiri. Saya agak menonjolkan diri supaya Rasulullah melihat saya. Tetapi beliau tidak melihat lagi kepada kami. Setelah beliau melihat Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, beliau memanggil seraya berkata kepadanya, “pergilah engkau bersama mereka. Adili dengan baik perkara yang mereka perselisihkan.” Maka pergilah Abu ‘Ubaidah dengan para utusan nasarani tersebut, menyandang gelar “orang kuat yang terpercaya”.
                Abu ‘Ubaidah bukanlah sekedar orang kepercayaan semata-mata. Bahkan dia seorang yang berani memikul kepercayaan yang dibebngkan kepadanya. Keberaniannya itu di tunjukkannya dalam berbagai peristiwa dan tugas yang dipikulkan kepadanya. Pada suatu hari Rasulullah Saw. Mengirim satu pasukan yang terdiri dari para sahabat untuk menghadang kafir kuraisy. Beliau mengankat Abu ‘Ubaidah menjadi kepala pasukan, dan membekali mereka hanya dengan sekarung kurma. Tidka lebih dari itu.
                Karena itu Abu ‘Ubaidah membagi-bagi kepada para prajuritnya sehari sebua kurma bagi setiap orang. Mereka mengulum kurma itu seperti menghisap gula-gula. Sesudah itu mereka minum. Hanya begitu mereka makan untuk beberapa hari. Waktu kaum muslimin kalah dalam perang Uhud, kaum musyrikin sedemikian bernafsu ingin membunuh Rasulullah Saw. Waktu itu Abu ‘Ubaidah termasuk sepuluh orang yang selalu membentengi Rasulullah Aws. Ketika pertempuran telah usai, sebuah taring Rasulullah ternyata patah. Kening beliau luka, dan dipipi beliau tertancap dua mata rantai baju besinya. Abu Bakar menghampiri Rasulullah hendak mencabut kedua mata rantai itu dari pipi beliau.
              Kata Abu ‘Ubaidah,”biarlah saya yang mencabutnya!” Abu Bakar menyilakan Abu ‘Ubaidah. Namun Abu ‘Ubaidah kuatir kalau rasulullah kesakitan bila dicabutinya dengan tangan, maka digigitnya mata rantai itu kuat-kuat dengan giginya lalu ditariknya. Setelah mata rantai itu tercabut, gigi Abu ‘Ubaidah tanggal pulah sebua lagi. Kata Abu Bakar, “abu ‘ubaidah orang ompong yang paling cakap.”
              Abu ‘ubaidah selalu mengikuti rasulullah berperang dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau, sampai dia wafat. Dalam musyawarah pemilihan khalifah yang pertama (yaumu saqifah), umar bin khatab mengulurkan tangannya kepada abu ‘ubaidah seraya berkata, “saya memilih anda dan bersumpah setia dengan anda. Karena saya pernah mendengar rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya tiap-tiap ummat mempunyai orang yang di percaya. Orang yang paling percaya dari ummat ini adalah anda (abu ‘ubaidah).”
               Jawab abu ‘ubaidah, “saya tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh rasulullah untuk mengimami kita shalat sewaktu beliau hidup (abu bakar). Walau pun beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia.”akhirnya mereka sepakat memilih abu bakar menjadi khalifah pertama, sedangkan abu ‘ubaidah menjadi penasihat dan pembantu utama bagi khalifah. Setelah abu bakar, jabatan khalifah pindah ke tangan umar bin khatab alfaruq, abu ‘ubaidah selalu dekat dengan umar dan tidak pernah membangkang perintahnya, kecuali sekali. Tahu kah anda, perinta khalifah umar yang bagaimanakah yang tidak dipatuhi abu ‘ubaidah?
               Peristiwa itu terjadi ketika itu abu ‘ubaidah bin jarrah memimpin tentara muslimin menaklukkan wilayah syam (syiriyah). Dia berhasil memperoleh kemenangan berturut-turut, sehingga seluruh wilaya syam takluk kebawa kekuasanya sejak dari tepih sungai furat disebelah timur sampai di asia kecil disebelah utara. Sementara itu di negeri syam berjangkit penyakit menular (tha’un) yang amat berbahaya, yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga korban berjatuhan. Khalifah umar datang dari madinah, sengaja hendak menemui abu ‘ubaidah. Tetapi umar tidak dapat masuk kota karena penyakit yang sedang mengganas itu. Lalu umar menulis surat kepada abu ‘ubaidah sebagai berikut:
             “saya sangat penting bertemu dengan saudara. Tetapi saya tidak dapat menemui saudara karena wabah penyakit sedang berjangkit dalam kota. Karena itu bila surat ini sampai ketangan sudara malam hari, saya harap saudara berangkat menemui saya diluar kota sebelum shubuh. Dan bila surat ini sampai ketangan siang hari, saya harap saudara berangkat sebelum hari petang.” Setelah surat khalifah tersebut dibaca Abu ‘Ubadah, dia berkata, “saya tahu maksud Amirul Mu’minin memanggil saya. Beliau ingin supaya saya menyingkir dari penyakit yang  berbahaya ini.”
               Lalu dibalasnnya surat khalfah, katanya; “Ya, Amiral Mu’minin! Saya mengerti maksud khalifah memanggil saya. Saya berada di tengah- tengah tentara muslimin, sedang bertugas memimpin mereka. Saya tidak ingin meninggalkan mereka dalam bahaya yang mengancam hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Saya tidak ingin berpisah dengan mereka, sehingga Allah member keputusan kepada kami semua (selamat atau binasa).Maka bila ada surat ini sampai ke tangan Anda, maafkanlah saya tidak dapat memenuhi permintaan anda, dan beri izinlah saya untuk tetap tinggal bersama-sama mereka. Setelah khalifah umar selesai membaca surat tersebut, beliau menangis sehingga air matanya meleleh ke pipinya. Karena sedih dan terharu melihat umar, maka orang yang disampng beliau bertanya,”Ya amirul mu’minin! Apkah abu ‘ubaidah wafat?”
                 “Tidak !” jawab umar.tetapi dia berada diambang kematian.” Dugaan khalifah tidak salah . karena tidak lama ssesudah itu Abu ‘ubaidah terserang wabah yang sangat berbahaya. Sebelum kematiannya Abu ‘Ubaidah berwasyiat kepada seluruh prajuritnya:
               “Saya berwasiat kepada anda sekalian. Jika wasiat ini kalian terima dan laksanakan , kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik, dan senantiasa berada dalam bahagia. Tetaplah menegakkan shlat. Laksanakan puasa ramadhan. Bayar zakat. Tunaikan ibadah haji dan umrah. Hendaklah kalian saling menasihati sesama kalian. Nasihati pemerintah kalian, jangan dibiarkan mereka tersesat. Dan janganlah kalian tergoda oleh dunia. Walaupun seseorang bisa berusia panjang sampai seribu tahun, namun akhirnya dia akan menjjumpai kematian seprti yang kalian saksikan ini.”
          “Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Kemudian dia menoleh kepada mu’adz bin jabal. Katanya, “hai, mu’adz! Sekarang engkau menjadi imam(panglima)!” tidak lama kemudian, ruhnya yang suci berangkat  ke rahmatullah. Dia telah tida di dunia fana. Jasadnya tidak lama pula habis dimakan masa. Tetapi amal pengorbanannya akan tetap hidup selama lamanya.mu’adz bin jabal berdiri di hadapan jama’ahnya, lalu dia berpidato :
    “Ayyuhannas!(hai sekalian manusia!) kita semua sama-sama merasa sedih kehilangan dia(Abu ‘Ubaidah).Demi Allah! Saya tidak melihat orang yang lapang dada melebihi dia.saya tidak melihat orang yang lebih jauh dari kepalsuan, selain dia.saya tidak tahu, kalau ada orang yang lebih menyukai kehidupan akhirat melebihi dia. Dan saya tidak tahu, kalau ada orang yang suka memberi nasihat kepada umum melebihi dia.karena itu marilah kita memohon rahmat Allah baginya, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pula kepada kita semua.Amiin!

SALMAN AL-FARISY

                Kisah ini adalah kisah nyata pengalaman seorang manusia mencari agama yang benar (hak), yaitu pengalaman salman al-farisy. Marilah kita simak salman menceritakan pengalamannya selama mengembara mencari agama yang hak itu. Dengan ingatanya yang kuat ceritanya lebih lengkap, terperinci dan lebih terpercaya. Kata salman, “saya pemuda persia, penduduk kota isfahan, berasal dari desa jayyan. Bapak saya kepala desa. Orang terkaya dan berkedudukan  tinggi disitu. Saya adalah mahluk yang paling disayangi ayah sejak saya lahir. Kesayangan beliau semakin tambah besar sejalan dengan pertumbuhan diri saya, sehingga karena teramat sayangnya, saya dipingitnya di rumah seperti anak gadis.
                Saya membaktikan diri dalam agama majusi (yang dianut ayah dan bangsa saya). Saya diankat menjadi penjaga api yang kami sembah, dengan tugas menjaga api itu supaya menyala siam malam , agar jangan padam walaupun agak sejenak. Ayahku memiliki perkebungan yang luas, dengan pengasilan yang bersar pula. Karena itu beliau mukim disana untuk mengawasi dan memungut hasilnya. Pada suatu hari bapak pulang ke desa untuk suatu urusa penting. Beliau berkata kepadaku, “hai anakku! Bapak sekarang bapak sangat sibuk. Karena itu pergilah engkau mengurus perkebungan kita hari ini menggantikan bapak! “
               Aku pergi ke perkebungan kami. Dalam perjalanan, aku melewati sebuah gereja nasarani. Aku mendengar mereka sedang sembahyang. Suara itu sangat menarik perhatianku. Sebenarnya aku belum mengerti apa-apa tentang agama nasarani dan agama-agama lain. Karena selama ini aku dikurung bapak di rumah, tidak boleh bergaul dengan siapa saja. Maka ketika aku mendengar suara mereka, aku masuk ke gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan. Setelah ku perhatikan, aku kagum dengan cara sembahyang mereka dan ingin masuk agama mereka
              Kataku, “demi Allah! Ini lebih bagus dari pada agama kami. “aku tidak beranjak dari gereja itu sampai petang. Sehingga aku tidak jadi pergi ke perkebunan. Aku bertanya kepada mereka, “dari mana asal agama ini..?”
             “dari syam (syriya), “jawab merekasetelah hari senja, barulah aku pulang. Bapak menanyakan urusan kebun yang ditugaskan beliau kepada ku. Jawabku, “wahai, bapak” aku bertemu orang sedang sembahyang digereja. Aku kagum mereka sembahyang. Belum pernah aku melihat cara orang sembahyang seperti itu. Karena itu aku senantiasa berada di petang.” Bapak memperingatkanku akan perbuatan itu. Katanya,”Hai anakku! Agama nasrani itu bukan agama yang baik. Agamamu dan agama nenek moyangmu(majusi)lebih baik dari agama nasrani itu! “jawabku,”Tidak! Demi Allah! Sesungguhnya agama merekalah yang lebih baik dari pada agama kita.” Bapak kuatir dengan ucapanku itu. Dia takut kalau aku murtad dari agama majusi yang kami anut karena itu dia mengurungku dan membelenggu kakiku dengan rantai .
              Ketika aku mempunya kesempatan, kukirim surat kepada orang-orang nasrani minta tolong kepada mereka, bila ada khafilah yang hendak pergi ke syam supaya memberi tahu kepada ku. Tidak berapa lama kemudian, datang kepada mereka satu khafilah yang hendak pergi ke syam. Mereka memberi tahu kepada ku. Maka kuputus rantai yang membelenggu kakiku hingga aku bebas. Lalu aku pergi bersama-sama khafilah itu ke syam. Sampai disana aku bertanya kepada mereka,” siapa kepala agama nasrani disini?”
             “Uskup yang menjaga gereja!” jawab mereka. Aku pergi menemui uskup seraya berkata kepadanya, “aku tertari agama nasrani. Aku besedia menjadi pelayan anda sambil beljar agama dan sembahyang bersama- sama anda” masuklah !” kata uskup. aku masuk, dan membaktikan diri kepadanya sebagai pelayan. Belum begitu lama aku membaktikan diri kepadanya, tahulah aku uskup itu orang jahat dia menganjurakan jama’ahnya bersedekah dan menodorong umatnya berama pahala. Bila sedekah mereka telah berkumpul tangan uskup,disimpannya saja dalam perbendaharaan, tidak dibagi-bagikannya kepada fakir miski sehingga kekayannya telah menumpuk sebanyak tujuh peti emas. Aku sangat membencinya karena perbuatannya yang memperkaya diri sendiri itu. Tidak lama kemudian ia pun meniggal. Orang-orang nasrani berkumpul hendak menguburkannya.
                Aku berkata kepada mereka ,”pendeta kalian ini orang jahat. Dianjurkannya kalian bersedekah digembirakannya kalian dengan pahala yang akan kalian peroleh. Tapi bila kalian berikan sedekah kepadanya disimpannya saja untuk dirinya, tdak satupun yang diberikannya kepada fakir miskin. “ Tanya mereka,”bagaimana kamu tahu demikian?” jawabku. “akan kutunjukkan kepada kalian simpanannya”kata mereka, “Ya,tunjukkanlah kepada kami”maka kupelihatkannya kepada mereka simpananya yang terdiri dari tujuh peti, penuh  berisi emas dan perak. Setelah mereka saksikan semuanya, mereka berkata,”Demi Allah !jangan dikuburkan dia.
               Lalu mereka salip jenazah uskup itu, kemudian mereka melempar dengan batu. Sesudah itu mereka angkat pendeta lain sebagai penggantinya. Akupun mengabdikan diri kepadanya. Belum pernah kulihat orang yang lebih zuhud dari padanya. Dia sangat memmbenci dunia tetapi sangat cinta kepada akhirat. Dia rajin beribadat siang malam. Karena itu aku sangat menyukainya, dan lama tinggal bersamanya. Ketika ajalnya sudah dekat,aku bertanya kepadanya, “Wahai bapak! Kepada siapa bapa mempercayakanku seandainya bapak meniggal. Dan dengan siapa aku harus berguru sepeniggalan bapak ?” jawabnya,”Hai, anakku! Tidak seorang pun yang aku tahu, melainkan seorang pendeta di Mosul, yang belum mengubah dan menukar –nukar ajaran-ajaran agama yang murni. Hubungi dia disana!”
                Maka tatkala guruku itu sudah meninggal, aku pergi mencari pendeta yang tinggal di Mosul. Kepadanya kuceritakan pengalamanku dan pesan guruku yang sudah meniggal itu. Kata pendeta mosul ,”tinggallah bersama saya.”aku tinggal barsamanya.ternyata dia pendeta yang baik ketika hampir meniggal, aku berkata kepadanya, “sebagaimana bapak ketahui, mungkin ajal bapak sudah dekat. Kepada siapa bapak dapat mempercayakanku seandainya bapak sudah tak ada?”
               Jawabnya,”Hai, anakku! Demi Allah! Aku tak tahu orang yang seperti kami, kecuali seorang pendeta di nasibin. Hubungilah dia ketika pendeta Mosul itu sudah meninggal, aku pergi menemui pendeta di nasibin. Kepadanya aku ceritakan pengalamanku serta pesan pendeta mosul. Kata pendeta nasibin, “tinggallah bersama kami!” setelah aku tinggal disana, ternyata pendeta nasibin itu memang baik. Aku mengabdi dan belajar kepadanya sampai di wafat. Setelah ajalnya sudah dekat, aku bertanya kepadanya, “bapa sudah tahu perihalku. Maka kepada siapa bapak dapat mempercayaanku seandainya bapa meninggal?”
             Jawabnya, “Hai, anaku! Aku tidak tahu lagi pendeta yang masih memegang tegiu agamanya, kecuali seorang pendeta yang tinggal di Amuriya. Hubungilah dia! “.aku pergi menghubungin pendeta di Amuriya itu. Maka kuceritakan kepadanya pengalamanku. Katanya, “tinggallah bersama kami! “dengan petunjuknya, aku tinggal disana sambil menggembala kambing dan sapi. Setelah guruku sudah dekat pula ajalnya, aku bertanya kepadanya, “anda sudah tahu urusanku. Maka kepada siapakah lagi aku akan anda percayakan seandainya anda meninggal dan apakah yang harus ku perbuat?”
               Katanya, “Hai, anakku! Setahuku tidak ada lagi di muka bumi ini orang yang berpegan teguh dengan agama yang murni seperti kami. Tetapi sudah hampir tiba masanya, di tanah arab akan muncul seorang nabi yang diutus oleh Allah membawa agama Nabi Ibrahim. Kemudian dia akan pindah ke negeri yang banyak pohon kurma disana, terletak diantara dua bukit berbatu hitam. Nabi itu mempunyai ciri-ciri yang jelas. Dia mau menerima dan memakan hadiah, tetapi tidak mau menerima dan memakan sedekah. Diantar kedua bahunya terdapat cap kenabian. Jika engkau sanggup pergilah ke negeri itu dan temuilah dia! “
               Setelah pendeta Amuria itu wafat, aku masih tinggal di Amuria, sehingga pada suatu waktu serombongan saudagar arab dari kabilah “klab” lewat disana aku berkata kepada mereka,”jika kalin ingin membawaku kenegeri arab, aku berikan kepada kalian semua sapi dan kambing-kambingku” jawab mereka, “baiklah! Kami bawa engkau kesana.” Maka kuberikan kepada mereka sapi dan kambing pelihraanku semuannya. Aku dibawanya bersama sama mereka. Sesampainya kami di Wadil qura’ aku ditipu oleh mereka.aku dijual mereka kepada seorang Yahudi. Maka dengan terpaksa aku pergi dengan yahudi itu dan berkhidmat kepadanya sebagai budak belian. Pada suatu hari anak paman majikanku datang mengunjunginya yaitu bani Quraizhah, lalu aku dibeliny kepada majikanku. Aku pindah dengan majikanku yang baru ini ke yatsrib. Disana aku melihat banyak pohon kurma seperti yang diceritakan guruku, pendeta  Amuria. Aku yakin itulah yang dimaksud guruku itu. aku tinggal bersama majikanku yang baru.
                 Ketika itu Nabi yang baru diutus sudah muncul. Tetapi beliau masih berada di Mekkah menyeru kaumnya. “Namun begitu aku belum mendengar apa-apa tentang kehadiran serta da’wah yang beliau lancarkan,karena aku selalu sibuk dengan tugasku sebagai budak.tidak berapa lama kemudian, Rasulullah pindah ke Yatsrib. Demi  Allah! Ketika itu aku sedang berada di puncak pohon kurma melaksanakan tugas yang diperintahkan majikannku. Dan majikanku itu duduk dibawah pohon. Tiba-tiba datang anak pamannya mengatakan,”biar mampus Bani Qailah! Demi Allah! Sekarang mereka berkumpul di Quba’ menyambut kedatangan laki-laki dari Mekkah yang menda’wahkan ditinya nabi.”
                 Mendengar ucapan itu badanku terasa panas dingin seperti demam,sehingga aku mengigil kerenanya.aku kuatir akan jatuh dan tubuhku bisa menimpa majikanku.aku segera turun dari puncak pohon,lalu bertanya kepada tamu itu, “apa kabar anda?cobalah kabarkan kembali kepadaku!”majjikanku marah dan memukulku seraya berkata, ini bukan urusanmu!kerjakan tugasmu kembali” besok kuambil buah kurma seberapa yang dapat ku kumpulkan.lalu kubawa kehadapan Rasulullah. Kataku, “aku tahu anda orang  shaleh.anda datang bersama-sama sahabat anda sebagai perantau. Inilah sedikit kurma dariku untuk sedekah bagi anda. Aku lihat andalah yang lebih berhak menerimanya dari pada yang lain-lain.”lalu aku sodorkan kurma itu kehadapannya. Beliau berkata kepada para sahabatnya,” silahkan kalian makan!” tetapi beliau tidak menyentuh sedikit juga makanan itu apalagi untuk memakannya .aku berkata dalam hati, “inilah satu diantara ciri-cirinya!” kemudian aku peri meninggalkannya, dan kukumpulkan sedikit demi sedikit kurma yang dapat ku kumpulkan. Ketika Rasulullah pindah dari Quba’ ke Madinah ku bawa kurma itu kepada beliau. Kataku, “aku lihat anda tidak mau memakan sedekah. Sekarang kubawakan sedikit kurma, sebagai hadiah untuk anda.” Rasulullah memakan buah kurma yang ku hadiahkan kepadanya. Dan beliau mempersilahkan pula para sahabat maka bersama-sama dengan dia. Kataku  dalam hati, “ini ciri kedua!”
              Kemudian kudatangi beliau di Baqi’ ketika belia mengantarkan jenazah sahabat beliau untuk dimakamkan disana. Aku melihat beliu memakai dua helai kain. Setelah akumemberi salam kepada beliuau, aku berjalan mengitarinya sambil menengok kepunggung beliau, untuk melihat cap kenabian yang dikatakan guruku. Agaknya beliau tahu maksudku. Maka dijatuhkannya kekain yang menyelimuti punggungnya ,sehingga aku melihat cap kenabiannya.barulah aku yakin dia adalah nabi yang baru diutus itu. Aku langsung menggumulnya, lalu kuciumi dia sambil menangis ternyata Rasulullah, “bagaimana kabar anda ?” maka kuceritakan kepada belliau seluruh kisah pengalamanku. Beliau kagum dan menganjurkan supaya aku menceritakan pula pengalamanku itu kepada para sahabat beliau.lalu kuceritakan pula kepada mereka. Mereka sangat kagum dan gembira mendengar kisah pengalamanku.berbahgialah Salman Al-Farisy yang telah berjuang mencari agama yang hak di setiap tempat. Berbahagialah salman yang telah menemukan agama yang  hak,lalu dia iman dengan agama itu dan memegang teguh agama yang diimaninya itu. Bebahagialah salman pada hari kematiannya, dan pada hari  dia dibangkitkan kembali kelak.

ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM

       Seorang laki-laki buta, karena peristiwa yang berkaitan dengan pribadinya Allah swt menurunkan enamlas ayat. Ayat-ayat itu kita selalu baca dan senantiasa dibaca sampai hari kiamat.” (kata ahli-ahli tafsir).
              Siapa laki-laki itu ? yang karenanya nabi yang mulia mendapat teguran dari langit dan menyebabkan beliau sakit? Siapakah dia, yang karena peristiwanya jibril al-amin harus turun membisikan wahyu Allah kedalam hati Nabi yang mulia?
     Dia tiada lain adalah ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM, MUAZIN RASULULLAH.
               ‘Abdullah bin Ummi Maktum, orang makkah suka Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasulullah SAW. Yakni anak paman Ummul Mu’minin Khadijah binti khuwailid Ridhwanullah ‘Alaiha. Bapaknya qais bin zaid, dan ibunya ‘Atikah binti ‘Abdullah. Ibunya bergelar “ ‘Umi Maktum” karena anaknya ‘Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan ketika cahaya islam mulai memancar di makkah. Allah melapangkan dadanyamenerima agama baru itu. Karena itu tidak diragukan lagi dia termasuk kelompok yang pertama-tama masuk islam. Sebagai muslim kelompok pertama, ‘Abdullah turut menanggung segala macam suka duka kaum muslimin di makkah ketika itu.
   Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti diderita siksaan kawa-kawanya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai macam tindak kekerasan lainnya. Tetapi apakah karena tindakan-tindakan kekerasan itu ibnu ummi maktum menyerah? Tidak..! dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan dia semakin teguh berpegan kepada agama islamdan kitab Allah. Dia semakin rajin mempelajari syari’at islamdan sering mendatangi majelis Rasulullah.
              Begitu rajin dan rakusnya dia mendatangi majeli Rasulullah, menyimak dan menghafal Al-Qur’an, sehingga setiap waktu senggang selalu diisinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu direbutnya. Karena rewelnya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkannya dari Rasulullah, disamping keuntungan bagi yang lain-lain juga. Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, mengharapkan semoga mereka masuk islam. Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin rabi’ah, syaibah bin rabi’ah, Amar bin hisyam alias Abu Jahal, Umaiyah bin khalaf, dan walid bin mughirah, ayah syaifullah khalid bin walid.
   Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang islam. Beliau sangat ingin mereka menerima da’wah dan menghentikan penganiayaan terhadap para Sahabat beliau. Sementara Beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba ‘Abdullah bin Ummi maktum datang mengganggu minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al-Qur’an. Kata ‘Abdullah “Ya, Rasulullah! Ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada anda!”
               Rasulullah yang mulia terlenga memperdulikan permintaan ‘Abdullah. Bahkan beliau agak acuh kepada intruksinya itu. Lalu beliau membelakani ‘Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pada pemimpin Quraisy tersebut. Muda-mudahan dengan islamnya mereka, islam tambah kuat dan da’wah bertambah lancar. Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba-tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau.
             “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya(dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pelajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-sekali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yang menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (ajaran-ajaran itu) terdapat didalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, ditangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa)berbakti.”
(Qs. Abasa: 1-16)
                Enam belas ayat itulah yang disampaikan jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa ‘Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturungkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat. Sejak hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi ‘Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilahkannya duduk di tempat duduk beliau. Beliau tanyakan keadaannya dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan ‘Abdullah demikian rupa; bukankah teguran dari langit itu sangat keras!
              Tatkala tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslim semakin berat dan menjadi-jadi, Allah swt mengizinkan kaum muslim dan Rasul-Nya hijrah. ‘Abdullah bin ummi maktum bergegas meninggalkan tumpah darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dan bersama-sama Mush’ab bin ‘Umair, sahabat-sahabat rasul yang pertama-tama tiba di madinah. Setibahnya di Yatrib (madinah), ‘Abdullah dan mush’ab segerah berda’wah, membacakan ayat-ayat Al-Qurn’an dan mengajarkan pengajaran islam.
            Setelah Rasulullah tibah di madinah, beliau mengankat ‘Abdullah bin Ummi maktum serta bilal bin Rabah menjadi muadzin Rasulullah Saw. Mereka berdua bertugas meneriakkan kalimat tauhid lima kali sehari semalam, mengajak orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila bilal adzan, maka bilal qomat.
              Dalam bulan ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal adzan tengah malam membangunkan kaum muslim untuk sahur, dan ‘Abdullah ketika fajar menyingsing, memberi tahu kaum muslim waktu imak sudah masuk, agar menghentikan makan minumdan segala hal yang membatalkan puasa.
              Untuk memuliakan ‘Abdullah bin Ummi Maktum, beberapa kali Rasulullah mengankatnya menjadi wali kota madinah menggantikan beliau, apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliaukepada ‘Abdullah. Salah satu diantaranya, ketika meninggalakan kota madinahuntuk membebaskan kota makkah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy. Setelah perang badar, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an, mengankat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak perigi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati ‘Abdullah bin Ummi Maktu. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada Rasulullah, “Ya, Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.”
             Kemudian dia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan  pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaanya cacat (uzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Dia senantiasa mendo’a  dengan segala kerendahan hati. Katanya, “wahai Allah! Turungkan wahyu mengenai orang-orang yang uzur seperti aku!” tidak berapa lama kemudian Allah memperkenangkan do’anya. Zaid bin Tsabit, sekertaris Rasulullah yang bertugas menuliskan wahyu menceritakan, “aku duduk disamping Rasulullah. Tiba-tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulis, hai Zaid” lalu aku menulis:
    “tidak sama orang-orang mu’min yang duduk(tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sablillah. “ (Qs. An-Nisa :95).
              Ibnu Ummi Maktum berdiri seraya berkata, “Ya, Rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat?” selesai pertanyaan ‘Abdullah, Rasulullah terdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, “Coba baca kembali yang telah engkau tulis!”
     Aku membaca,
     tidak semua orang-orang mu’min yang duduk (tidak turut berperang)”
Lalu kata beliau. Tulis!
  kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.”

                  Maka turunlah pengecualian yang diharap-harapkan Ibnu Ummi Maktum. Meskipun Allah Swt. Telah mema’afkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang yang uzur seperti dia untuk tidak berjihad, namun dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekad untuk turutberperang fi sabilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Maka karena itu dia sangat gandrung untuk turut berperang dan penetapkan sendiri tugasnya di medan perang.
   Katanya, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memegangnya  erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari. Tahun ke empat hijriyah, Khalifah ‘Umar bin khaththab memutuskan akan memasuki persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggntinya dengan pemerintahan islam yang demokrasi dan bertauhid. ‘Umar memerintahkan kepada segenap gubernur dan pembesar dan pemerintahannya. “Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang-orang yang bersenjata, atau orang-orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya segera mungkin!”
             Maka berkumpulah dimadinah  kaum muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan khalifah ‘Umar bin khaththab. Di antara mereka itu terdapat seorang prajurit buta, ‘Abdulah bin Ummi Mktum. Khalifa ‘Umar mengangkat Sa’ad bin abi Waqqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian khalifah memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada Sa’ad. Setalah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah, ‘Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin  dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati disamping bendera itu.
            Pada hari ketiga perang Qadisyiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelunya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan yang paling terbesar yang belum pernah direbutnya. Maka pidahlah kekuasaan kerajaan persia yang besar di tangan kaum muslimin. Dan runtuhlah mahligai yang termegah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.
  Kemenangan yang menyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan para syuhada. Di antara mereka yang syahid itu terdapat ‘Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin.

ABDULLAH BIN ‘ABBAS

  Dia pemuda tua, banyak bertanya (belajar), dan sangat cerdas.”(‘Umar bin khatthab)
              Sahab yang mulia ini, mulia segala-galanya, tidak ada yang ketinggalan. Dalam pribadinya terdapat kemuliaan sebagai sahabat Rasulullah Saw. Seandainya dia terlambat lahir sedikit saja, tentulah kemuliaan menjadi sahabat Rasulullah tidak diperolehnya. Dia beroleh kemuliaan sebagai keluarga dekat Rasulullah; karena dia adalah anak paman beliau, ‘Abbas bin ‘abdul mutthalib. Dia mulia dari sudut ilmu, karena dia ummat muhammad yang amat alim dan shaleh serta lautan ilmu yang sangat dalam. Dari sudut ketaqwaan, dia senantiasa puasa siang hari dan mendirikan shalat malam hari, istigfar waktu sahur sambil menangis karena takut akan siksa Allah sehingga air matanya membasahi kedua pipinya.
  Nama lengkapnya Abdullah bin ‘Abbas. Dia sangat ‘alim tentang kitabullah (al-qur’an) dan sangat paham maknanya. Dia sangat menguasai al-qur’an sampai ke dasar-dasarnya, mengetahui sasaran dan segala rahasianya.
 Ibnu abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah. Ketika rasulullah saw. Wafat, dia baru berumur tiga belas tahun. Dalam usia sebaya itu dia telah menghafal seribu enam ratus enam puluh hadits untuk kaum muslimin, yang diterimanya langsung dari Rasulullah, dan dicacat oleh bukhari dan muslim dalam kitab shahih mereka. Setelah ibnu abbas lahir ke dunia, bayi yang masih merah itu segera dibawa ibunya kepada Rasulullah Saw. Beliau memasukan air liurnya ke dalam kerongkongan bayi itu. Air liur Nabi yang suci dan penuh berkah itulah yang pertama –tama masuk ke dalam rongga perut anak tersebut, sebelum ia disusukan ibunya. Seiring dengan air liur Nabi, maka masuk pulalah ke dalam pribadi bayi itu taqwa dan hikmah.
  “dan siapa saja yang di beri hikmah, sungguh dia telah diberi kebajikan yang banyak.”(Qs. Al-Baqrah: 269).
   Ketika anak itu meninggalkan usia kanak-kanak dan mulai memasuki usia tamyiz (umur 6 atau 7 tahun), dia tinggal di rumah Rasulullah seperti adik terhadap kakak yang saling mengasihi. Dia menyediakan air wudhu beliau apabila hendak wudhu. Anak itu ikut shalat di belakang Rasulullah bila beliau shalat. Dan bila beliau bepergian, dia membonceng di belakang. Sehingga ibnu ‘Abbas bagaikan bayang-bayang yang senantiasa mengikuti beliau kemana pergi, atau dia senantiasa berada di seputar beliau. Sementara itu anak tersebut dapat menyimpan dalam hati dan pikirannya yang bersih segala peristiwa yang dilihat dan kata-kata yang didengarnya, tanpa alat tulis menulis seperti yang kita kenal sekarang.
  Ibnu ‘Abbas bercerita mengenai dirinya, “pada suatu ketika Rasulullah Saw. Hendak shalat.  Aku segera menyediakan air wudhu untuk beliau. Beliau gembira dengan apa yang kulakukan. Ketika beliau siap untuk shalat; dia memberi isyarat kepadaku supaya berdiri di sampingnya. Tetapi aku berdiri di belakang beliau. Setelah selesai shalat, beliau menoleh kepadaku seraya bertanya, “mengapa engkau tidak berdiri di sampingku?” jawabku, “Anda sangat tinggi dalam pandanganku dan sangat mulia untukku berdiri di samping anda. “
  Rasulullah menadahkan tangannya, lalu berdo’a,
  “Wahai Allah, berilah dia hikmah. “
              Alllah memperkenangkan do’a Rasulullah tersebut. Dia memberi cucu hasyim tersebut hikmah, melebihi hikmah ahli-ahli hikmah yang besasr-besar. Tentu anda ingin tahu, hikmah bentuk apa yang telah dilimpahkan Allah kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas. Marilah kita perhatikan kisah selanjutnya. Ketika sebagian shabat memencilkan dan menghina Khalifah ‘Alli bin Abu thalib, Abdullah bin ‘Abbas. Berkata kepada ‘Ali, “Ya, Amiral Mu’minin! Izinkanlah saya mendatangi mereka, dan berbicara kepadanya.”
   Kata ‘Ali, “Saya kuatir resiko yang mungkin engkau terima dari mereka.”
               Jawab Ibnu ‘Abbas, “Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa.” Ibnu ‘Abbas masuk ke dalam majelis mereka. Dilihatnya mereka orang-oramg yang sangat rajin beribadat. Kata mereka, “Selamat datang, hai ibnu ‘Abbas. Apa maksud kedatangan anda kemari?” Jawab ibnu ‘Abbas, “saya datang untuk berbicara dengan tuan-tuan.” Sebagian yang lain berkata, “Katakanlah! Kami akan mendengarkan bicara anda.”
             Kata ibnu ‘Abbas, “Coba tuan-tuan katakan kepada saya, apa sebabnya tuan-tuan membenci anak paman Rasulullah yang sekaligus suami anak perempuan beliau (mantan Rasulullah), dan orang yang pertama-tama iman dengan beliau?” Jawab mereka, “kami membencinya karena tiga perkara.”
  Tanya ibnu ‘Abbas, “apa itu?” Jawab mereka, “pertama, dia bertakhim (mengangkat hakim) kepada manusia tentang urusan agama Allah. Kedua, dia memerangi ‘Aisya dan mu’awiyah, tetapi dia tidak mengambil harta rampasan dan tawanan. Ketiga, dia menanggalkan gelar ‘Amirul Mu’minin’ dari dirinya, padahal kaum muslimin yang mengukuhkan dan mengangkatnya.” Kata ibnu ‘Abbas, “Sudikah tuan-tuan mendengar Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saya bacakan? Tuan-tuan tentu tidak akan membantah keduanya. Apakah dengan maksud ayat dan hadits tersebut?” Jawab mereka “Tentu!” Kata Ibnu ‘Abbas, “Masalah pertama, bertahkim kepada manusia dalam urusan agama Allah. Allah swt. Berfirman:
              “Hai orang orang yang beriman! Janganlah  kalian membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Siapa saja diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu.”(Qs. Al-Maidah :95)

               Saya bersumpah dengan tuan–tuan menyebut nama Allah; apakah putusan seseorang tentang hak darah atau jiwa, dan perdamaian antara kaum muslimin yang lebih penting ataukah seekor kelinci yang harganya seperempat dirharn?”. Jawab mereka, “ Tentu darah kaum muslimin dan perdamaian di antara mereka yang lebih penting.” Kata Ibnu ‘Abbas, “ Marilah kita keluar dari persoalan ini.”
     Jawab mereka, “Baiklah, kami tinggalkan masalah itu.”kata Ibnu ‘Abbas, “Masalah kedua, ‘Ali bereperang tetapi dia tidak men wan para wanita seperti yang tejadi pada masa Rasulullah. Mengenai masalah itu, sudikah tuan – tuan mencaci ‘Aisyah, lantas tuan – tuan halalkan dia   seperti wanita – wanita tawanan yang lain – lain. Jika tuan – tuan mengatakan “Ya”, tuan – tuan kafir. Dan jika tuan – tuan menjawab, dia bukan ibu kami, tuan – tuan kafir juga, Allah Swt. Berfirman :
               “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang – orang  mu’min sendiri, dan isteri- isteri Nabi adalah ibu – ibu mereka.” (Qs. Al- Ahzab: 6).  “Nah, pilihan mana yang tuan – tuan suka.Mengakui ibu atau tidak.
                  Kata Ibnu ‘Abbas selanjutnya, “Marilah kita tinggalkan persoalan ini!”. Jawab mereka, “Wahai Allah, kami setuju!” Kata Ibnu ‘Abbas, “Ali menanggalkan gelar “’Amirul mu’minin” dari dirinya. Sesungguhnya ketika perjanjian hudaibiyah di tanda tangani, mula – mula Rasulullah menyuruh tulis, inilah perjanjian dari Muhammad Rasulullah. Lali kata kaum musyrikin seandainya kami mengakui Rasulullah, tentu kami tidak menghalangi engkau Rasulullah, tentu kami tidak menghalangi engkau mengunjungi Baitullah dan tidak memerangi engkau. Akrena itu tuliskan nama engkau saja: “Muhammad bin Abdullah”.
    Rasulullah memenuhi permintaan mereka seraya berkata, “demi Allah, Aku adalah Rasulullah, sekalipun kalia tidak mempercayaiku.” “bagaimana?” tanya ibnu ‘Abbas, “tidak pantaskah masalah memakai atau tidak memakai gelar  “amirul mu’minin” itu kita tinggalkan saja? Jawab merka, “ya Allah, kami setujui.” Hasil pertemuan ibnu abbas dengan mereka (kaum khawarij) dan alasan-alasan yang dikemukakannya menyebabkan 20.000 orang yang membenci Ali kembali masuk ke dalam barisan Ali. Yang memusuhinya hanya tinggal 4000 orang.
   Waktu muda Abdullah bin abbas mencari ilmu dengan berbagai cara yang dapat dilakukannya. Wakyunya di habiskan untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Mula-mula dia memperoleh ilmu dari mata air yang mulia, yaitu langsung dari Rasulullah sampai beliau wafat. Setelah beliau tiada, dihubunginya ulama-ulama sahabat, lalu dia belajar kepada mereka.
  Ibnu Abbas pernah bercerita, “apabila seseorang menyampaikan sebua hadits kepadaku, yang diperolehnya dari seorang sahabat Rasulullah, maka ku datangi sahabat tersebut ke rumahnya waktu ia tidur siang. Lalu aku bentangkan sorbanku dekat tangga rumahnya dan aku duduk disitu menunggu dia bangun. Sementara itu angin bertiup memenuhi tubuhku dengan debu tanah. Seandainya aku minta izin masuk kepadanya, tentu dia akan mengizinkanku; tetapi memang aku sengaja melakukan demikian , supaya aku tidak mengganggunya tidur. Ketika dia keluar dan melihatnya dalam keadaan demikian, dia berkata, “Wahai anak paman Rasulullah. Mengapa anda sendiri yang datang kesini? Mengapa tidak anda suruh saja seseorang memanggilku; tentu aku datang memenuhi panggilan anda!” .
                    Jawabku, “akulah yang harus mendatangi anda, ilmu harus didatangi, bukan ilmu yang harus mendatangi. Sesudah itu kutanyakan kepadanya hadits yang ku maksud.” Ibnu ‘Abbas rendah hati dalam menuntut ilmu. Dia menghormati derajat ulama. Pada suatu hari zaid bin tsabit, penulis wahyu dan ketua pengadilan Madinah bidang Fiqih, Qiro’ah,dan faraidh, mendapat kesulitan karena hewan yang ditungganginya bertingkah. Lalu Abdullah bin ’Abbas berdiri kehadapannya seperti sseorang hamba dihadapan majikannya.ditahannya hewan kendaraan Zaid bin tsabit dan dipegangnya kendalinya. Kata Zaid, “Biarkan saja, wahai anak paman Rasulullah!”
               Jawab Ibnu ‘Abbas, “ Beginilah cara kami diperintahkan Rasulullah terhadap ulama kami.” Kata zaid bin Tsabit, “coba perlihatkan tangan anda kepada saya!” Ibnu ‘Abbas mengulurkan tangannya kepada zaid, lalu dicium oleh zaid. “beginilah caranya kami diperintahkan Rasulullah terhadap ulama kami.” Kata zaid bin tsabit, “coba perlihatkan tangan anda kepada saya!”
                Ibnu ‘Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid , lalu dicium oleh zaid. “ Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah menghhormati keluarga Nabi kami, kata zaid.” Ibnuu ‘Abbas sangat rajin menuntut ilmu sehingga mencengangkan ulama – ulama besar. Masruq bin ajda’,seorang ulama besar tabi’in berkata, “Paras Ibnu’Abbas sangat elok. Bila berbicara, bicaranya sangat fashih. Bila dia menyampaikan hadits, dia sangat ahli dalam bidang itu.
              Setelah ilmu yang dicarinya sempurna, Ibnu ‘Abbas beralih menjadi guru mengajar orang banyak. Rumahnya berubah menjadi jami’ah(Universitas) kaum muslimin. Memang tidak salah kalau kita katakan Universitas, seperti yang kita kenal sekarang. Beda Universitas Ibnu ‘Abbas dengan Universitas kita sekarang, ialah di Universitas kita yang mengajar ada sepuluh sampai ratusan orang dosen atau profesor. Tetapi Universitas Ibnu ‘Abbas yang mengajar Ibnu ‘Abbas seorang.
    Salah seorang kawang Ibnu ‘Abbas bercerita, “saya berpendapat, seandainya kaum Quraisy mau membanggakan Universitas Ibnu ‘Abbas, memang pantas mereka bangga. Saya lihat orang banyak sudah penuh berkumpul di jalan menuju ke rumah Ibnu ‘Abbas, sehingga jalan itu sempit dan tertutup oleh kepala orang banyak. Saya masuk masuk menemuinya dan memberitahu bahwa orang banyak sudah berdesak-desak di muka pintu. Katanya, tolong ambilkan saya air wudhu “lalu dia berwudhu dan sesudah itu duduk di ruangan majelis.” Katanya, “siapa yang hendak belajar Qur’an surulah mereka masuk.”
     Saya keluar memberitahukan orang banyak. Merekapun masuk, sehingga seluruh ruanga dan kamar-kamar penuh dengan orang yang hendak belajar Qur’an. Apa saja yang mereka tanyakan dijawabnya panjag lebar kemudian dia berkata kepada mereka, “beri kesempatan kawan-kawan yang lain!” lalu mereka keluar semuanya.
               Katanya, “suruh masuk orang-orang yang hendak belajar tafsir Al-Qur’an dan Ta’wilnya!” Maka kuumumkan kepada orang banyak, sehingga mereka masuk pula memenuhi ruangan dan kamar-kamar. Apa yang ditanyakan mereka dijawabnya sampai mereka puas. Katanya, “Sekarang beri kesempatan pula kawan-kawan yang lain!” saya disuruhnya keluar menyilakan orang yang hendak belajar halal dan haram dan masalah-masalah fiqih. Mereka pun masuk. Segala pertanyaan mereka dijawabnya panjang lebar. Setelah cukup waktunya, dia berkata pula, “Kini beri kesempatam kawan-kawan yang hendak belajar Faraidh dan sebagainya!” merekapun keluar, dan masuk pula orang-orang yang hendak belajar ilmu Faraidh. Setelah selesai pelajaran Faraidh, disuruh masuk pula orang-orang yang hendak belajar Sastra Arab, Syi’ir dan kata-kata Arab yang sulit-sulit.
              Kemudian Ibnu ‘Abbas membagi-bagi hari, untuk beberapa macam bidang ilmu ilmu dalam beberapa hari, guna mencegah orang berdesak-desakan di muka pintu. Umpamanya sehari dalam seminggu untuk bidang Ilmu tafsir, besok ilmu fiqih, besok ilmu peperangan atau strategi perang. Sesudah itu ilmu syi’ir, sesudah itu ilmu sastra Arab. Tidak ada orang ‘alim yang duduk dalam majelis Ibnu ‘Abbas melainkan menundukkan diri kepadanya.
                Karena kealiman dan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu, dia senantiasa diajak bermusyawarah oleh Khalifah Al-Rasyidah (bijaksana) sekalipun dia masih muda belia. Apabilah khalifah umar bin khatthab menghadapi suatu persualan yang rumit, diundangnya ulama-ulama tekemuka termasuk Ibnu ‘Abbas yang muda belia. Bila Ibnu ‘Abbas hadir, khalifah Umar memberikan tempat duduk yang lebih tinggi bagi Ibnu ‘Abbas dan khalifah sendiri duduk di tempat yang lebih rendah seraya berkata, “Anda lebih berbobot dari pada kami.” Pada suatu ketika khalifah Umar mendapat kritik, karena perilaku yang di berikan kepada Ibnu ‘Abbas melebihi daripada kepada ulama-ulama yang tua-tua, maka kata ‘Umar, “dia pemuda tua, dia lebih banyak belajar, dan berhati terang.”
               Ketika ibnu ‘abbas beralih mengajar orang-orang tertentu, dia tetap tidak melupakan kewajibannya terhadap orang-orang awam. Maka dibentuknya majelis-majelis Wa’azh dan Tadzkir (pendidikan dan pengajaran). Di antara pengajarannyadia berkata kepada orang-orang yang berdo’a :
     “Wahai orang yang berbuat dosa!
               Jangan sepelekan akibat-akibat perbuatan dosa itu, sebab ekornya jauh lebih gawat daripada dosa itu sendiri. Kalau engkau tidak merasa malu kepada orang lain padahak engkau telah berbuat dosa, maka sikap tidak punya malu itu sendiri adalah juga dosa. Kegembiraarn ketika melakukan dosa, padahal engkau tidak tahu apa yang diperbuat Allah atas dirimu, adalah juga dosa. Kalau engkau sedih karena tidak dapat berbuat dosa, maka kesedihanmu itu jauh lebih dosa daripada perbuatan itu,. Engkau takut kalau-kalau angin bertiup membukakan rahasiamu, tetapi engkau sendiri telah berbuat dosa tanpa takut akan Allah yang melihatmu. Maka sikap seperti itu adalah lebih besar dosanya ketimbang perbuatan dosa itu.
      Wahai orang yang berdosa!
              Tahukah anda dosa nabi ayyub As. Yang menyebabkannya mendapat bala (ujian) mengenai jasad dan harta bendanya? Ketauhilah, dosanya hanya karena ia tidak menolong seorang miskin yang minta pertolongannya untuk menyingkirkan kedzaliman. Ibnu ‘Abbas tidak termasuk orang-orang yang pandai berkata tetapi tidak berbuat. Dia tidak termasuk orang yang pandai melarang tetapi tidak menghentikan. Dia senantiasa puasa siang hari dan shalat malam hari.
‘Abdulah bin malaikah bercerita, “saya pernah menemani ibnu qabbas dalam suatu perjalanan dari mekkah ke madinah. Ketika kami berhenti di suatu tempat, dia bangun tengah malam, sementara yang lain tidur karena lelah. Saya pernah pulah melihatnya pada suatu malam mambaca ayat ke -19 surah Qof berulang-ulang sambil menangis hingga terbit fajar. Sebagai kesimpulan, tahulah kita bahwa ibnu ‘Abbas yang berparas tanpa itu, senantiasa menangis tengah malam karena takut akan siksa Allah sehinggah air matanya membasahi pipinya.  
   Ibnu ‘Abbas sampai kepuncak ilmu yang dimilikinya. Pada suatu ketika musim haji, Khalifah Mu’awiyahbin abi sufyan pergi haji. Bersama dengan khalifah, pergi pula abdullah bin abbas. Khalifah mu’awiyah diiringkan menn oleh pasukan murid-muridnya yang berjumlah lebih banyak daripada pengiring khalifah. Usia ‘Abdullah bin ‘Abbas mencapai tujupuh satu tahun.selama itu dia telah memenuhi dunia dengan ilmu, paham, hikmah dan taqwa. Ketika dia meninggal, muhammad bin hanafiyah turut melakukan shalat atas jenazahnya bersama-sama dengan para shabat yang lain-lain serta para pemukaTabi’in.
                Tatkalah mereka menimbun jenazahnya dengan tanah, mereka mendengar suara membaca:
                hai jiwa yang tenang Kembali kepada tuhanmudengan hati puas lagi diridhai- Ny.masuklah  kedalam kelompok jamaah hamba-hambaku, dan masuklah kesurga-ku (Qs. Al-Fajr: 27-30).

zaid bin haritsah.

SU’DA BINTI TSA’LABAH berpergian mengunjungi familinnya,bani ma’an.dia membawa anaknya yang masih kecil,ZAID BIN HARITSAH AL-KA’BY.belum berapa lama dia tinggal di sana,segerombolan orang berkuda bani qain datang menyerang desa itu,lalu merampok harta benda penduduk,unta,dan menculik anak-anak.di antara anak-anak yang di culik adalah Zaid bin Haritsah,anak Su’ud.
Zaid ketika itu baru menginjak delapan tahun.para penculik membawanya ke pasar ‘Ukazh’  dan menawarkannya kepada pembeli.Zaid di beli oleh seorang bangsawan quraisy yang kaya raya,Hakam bin Hamzah bin Khuwailid,seharga empat ratus dihram,bersamaan dengan zaid,Hakam membeli pula beberapa orang anak yang lain,kemudian dibawanya pulang makkah.
Ketika khadijah binti khuailid,bibi dari hakam bin khuailid,mengetahui bahwa hakam telah kembali dari pasar’Ukazh’,dia datang mengunjungi hakam untuk mengucapkan selamat datang.kata hakam”Wahai bibi Pililah di antara budak-budak itu yang mana bibi sukai,sebagai hadiah untuk bibi.Khadijah memeriksa budak-budak itu satu persatu.maka pilihannya jatuh kepada Zaid bin Haritsah,karena di lihatnya anak itu pintar dan cerdik.kemudin Zaid di bawa pulang.
Tidak lama kemudian ,Khadijah menikah dengan muhamad bin ‘abdullah (ketika itu beliau belum menjadi nabi).Khadijah ingin menyenangkan hati suami tercinta,dengan memberikan sesuatu sebagai kenang-kenangan.setelah di timbang-timbang,dia tidak melihat hadiah yang baik bagi suaminnya.
Budak yang bernasib mujur itu kini berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan muhamad bin Abdullah.anak itu sangat beruntung,karna dia di perlukan tuannya dengan cara yang mulia dan dia merasa bahagia berada di samping tuannya.
Tetepi nun jauh di sana,ibu Zaid menderita anak satu-satunnya.Air matannya telah kering,tak mau lagi mengalir karna terus menerus mengalir menangis di rundung duka duka nestapa.makan tak enak,tidur pun tak nyenyak.lebih-lebih lagi karna anak yang di cintainnya tidak di ketahui,apakah masih hidup dengan harapan berjumpa kembali,ataukah dia sudah tiada,menyebabkan si ibu kian berputus asa.Ayahnya telah berusaha mencari ke seluruh pelosok,dia bertannya-tanya kepada setiap kafilah yang di temuinya. Sehinga dalam pencarian yang melelahkan itu,dari lubuk hatinya yang duka tercetus seuntai ‘syi’ir yang meremukan setiap hati pendengarnya,di tujukan kepada putranya yang hilang:
kutangisi engkau,bai Zaid,
Ku tak tahu yang terjadi
Apakah hidup dengan harapan bertemu kembali
Atukah telah tiada
Demi allah aku tak tahu
Dan aku akan bertanya selalu
Mungkin di lembah sana dia celaka, atau di bukit
Situ dia binasa
Mentari terbit mengingatkanku kepada
Rindu kian menggoda bila senja tiba
Akan kucari dia dibumi mana
Tiada kujemu berkelana
Walau unta telah merana
Kalau tak tercapai cita-cita biarlah matibersama rindu menggelora”
Pada suatu musim haji (masa jahily),beberapa famili zaid pergi naik haji.ketika mereka sedang thawaf,mereka bertemu berhadap muka dengan Zaid.mereka mengenali zaid dan zaid mengenali mereka,lalu saling bertannya dan berbicara.setelah selesai haji,mereka pulang ke kampung dan mengabarkan kepada Haritsah apa yang mereka lihat dan mereka dengar dari zaid.haritsah segera menyiapkan kendaraan dan uang secukupnya untuk menebus jantung hati,penyejuk mata,anak satu-satunya.dia pergi ke mekkah di temani saudaranya ka’ab.mereka berpacu secepatnya agar segera sampai di makkah dan bertemu dengan jantung hatinya.tiba di makkah mereka langsung menuju rumah Muhamad bin Abdullah
Kata mereka “Wahai putera‘Abdul mutthalib!anda tetangga rumah allah.Anda senantiasa membantu orang yang kesulitan:memberi makan orang lapar,dan memberi minum orang kehausan.Kami datang kepada anda hendak menjemput anak kami yang tinggal bersama anda.kami membawa uang secukupnya untuk tebusan.Serahkanlah anak kami kepada kami,akan kami tebus berapa anda hendaki.”
Tanya muhamad,”siapa anak yang tuan-tuan maksudkan?”
Jawab mereka”pelayanan anda,Zaid bin Haritsah”
Tanya Muhamad,”tidak adakah pilihan lain yang lebih baik lagi tuan-tuan selain menebus?”
Mereka balik bertanya,”pilihan apa?”
Kata Muhamad “Saya akan memanggil anak itu kemari.suruh dia memilih sendiri antara saya dan tuan-tuan,maka dia boleh tuan-tuan bawa tanpa uang tebusan.Dan jika dia memilih saya,demi Allah! Saya bukan tak ingin di pilihnya..”
Jawab mereka, ”itulah yang seadil-adilnya.”
Muhamad memanggil Zaid,lalu bertannya  kepadannya,”kenalkah engkau,siapakah kedua tuan-tuan ini?”
Kata Zaid,”ini bapakku haritsah bin syurail,dan ini paman ku Ka’ab.”
Kata muhamad, ”sekarang pilih oleh mu,hai Zaid! Mana yang lebih engkau sukai, pergi bersama bapak dan pamanmu,atau tetap tinggal bersama saya?”
Zaid menjawab cepat tanpa ragu, “aku memilihtetap tinggal bersama anda.”
Kata bapak zaid. “celaka! Mengapa engkau lebihsuka memilih perbudakan daripada memilih bapak dan ibu kandungmu !”
Kata zaid”karena aku tahu, tuan ini lain daripada yang lain, aku tidak mau berpisah dengannya selamanya.”
Muhammad mengerti apa yang diucapkan zaid itu. Mata setelah itu dia berucap begitu, diambilnya tangan zaid lalu dibawanya keluar, kebaitul haram.Muhammad berdiri diatas hijir hadapan masyarakat quraisyi sambil memegang tangan zaid.
 Katanya kepada orang banyak, “ hai kaum quraisyi! Saksikanlah! Ini adalah anakku yang akan mewarisi!”. setelah mendengar pengumuman Muhammad tersebut, tenanglah hati bapak dan paman Zaid dengan Muhammad bin’Abdullah(tidak sebagai budak seperti yang diperkirakannya, tetapi sebagai anak yang akan mewarisinya). Mereka pulang ke desanya dengan hati dan pikiran tentram.
Sejak hari itu Zaid bin’haritsah dipanggil zaid Zaid bin Muhammad. Nama tersebut terus terpakai sampai muhammad di utus Allah menjadi Nabi dan Rasul, ketia turun ayat yang membatelkan hukum adat mengangkat anak(adopsi) seperti yang diadatkan orang arab. Allah berfirman: “panggillah mereka dengan nama bapak mereka.” (Qs.al-ahzab: 5).
Ketika zaid menjatuhkan pilihannya kepada Muhammad, bukan kepada ibu dan bapaknya, dia tidak mengetahui sama sekali keuntungan-keuntungan apa yang akan diperolehnya. Dia tidak tahu bahwa majikannya lebih berkesan kepadanya dari pada orang tua dan familinya itu sesungguhnya adalah penghulu segaa Nabi yang terdahulu dan yang terakhir, serta utusan (Rasul) Allah kepada seluruh alam.
Belum terlintas dalam pikirannya bahwa kerajaan langit akan berdiri di muka bumi, sehingga kemakmuran dan keadilan merata di segenap plosok. Dan dia sendiri akan menjadi batu pertama dalam pembangunan kerajaan yang besar itu. Semua itu tidak pernah terbayang dalam pikiran Zaid. Karunia Allah hanya diberikan – Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya. Allah memiliki karunia yang Maha Besar.
Demikianlah, hanya lebih kurang tujuh tahun sesudah peristiwa Zaid menjatuhkan pilihannya, maka Allah mengutus Rasulnya denga agama yang  hak.Zaid bin Haritsah adalah orang yang pertama-tama menyatakan iman kepada beliau dari kalangan laki-laki. Apakah yang lebih membanggakan dari pada ini, dimana orang berlomba-lomba mendapatkannya ?. Zaid bin haritsah menjadi orang terpercaya memegang  rahasia Rasulullah.dia senantiasa dingkat beliau menjadi pemimpin delegasi/pasukan yang dikirim Rasulullah. Dia tunjuk beliau memerintah kota madinah menggantikan beliau, apabilah beliau berpergian keluar kota, untuk berperang dan sebagainya.
Kalau zaid mencintai Rasulullah melebihi cintanya kepada ibu-bapaknya, maka Rasulullah sangat mencintainya pula. Dia tinggal bersama Rasulullah, berbaur dengan keluarga dan anak-anak beliau. Apabilah zaid sedang tiadak, beliau rindu kepadanya. Dan apa bila zaid tiba, beliau tampak gembira dengan kedatangannya. Rasulullah mendidik dan mengajarnya dengan pendidikan dan pengajaranya yang tidak seorang pun beruntung memperolehnya seperti zaid. Dengarkanlah kesaksian ‘Aisyah menggambarkan kepada kita bagaimana gembira dan mesranya Rasulullah menyambut kedatangan zaid, ketika dia baru tibah dari suatu perjalanan. Kata ‘Aisyahnya, “pada suatu hari zaid tibah di madinah. Ketika itu Rasulullah sedang berada di rumahku. Zaid mengetuk pintu. Rasulullah bergegas ke pintu dengan hanya memakai kain untuk menutupi auratnya antara pusat dan lutut sambil menarik baju untuk dikenakannya. Lalu Rasulullah memeluk dan menciumi zaid. Demi Allah! Tidak pernah saya melihat beliau seperti itu sebelum dan sesudahnya.”
Memang, kasih sayang kepada Zaid terkenaldan sudah menjadi pengetahuan umum dikaangan kaum muslimin. Karenanya  kaum muslimin menggelari Zaid dengan “Zaid ibnu al-hib”(Zaid anak kesayangan Rasulullah). Dan kemudian anak Zaid yang bernama usamah, digelari mereka pula dengan “Hib ibnu Hib” (anak kesyangan dari anak kesayangan Rasulullah). Gelar-gelar itu masyhur dalam masyarakat kaum muslimin. Tahun keelapan Hijriyah, Allah Yang Maha Tinggi kebijaksanaan-Nya bekehendak untuk menguji hamba-hamba-Nya dengan memisahkan orng yang sayang menyayangi itu.
Rasulullah mengutus Harits bin ‘Umair Al-Azdy dengan sepucuk surat dari beliau kepada Raja Bushra,mengajaknya masuk islam.Sampai di Mu’tah,sebelah timur Yordan,seorang pembesar Bani Ghassan,yaitu Syurahbil bin ‘Amr menangkap harits, lalu harits di bunuhnya. Rasulullah sangat marah, karena sesungguhnya seorang utusan tidak boleh di bunuh. Maka beliau siapkan tiga ribu tentara untuk memerangi Mu’tah. Beliau anak kesayangannya Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan tersebut. Kata beliau, “jika Zaid gugur, maka pimpinan harus di gantikan oleh Ja’far bin Abu Thalib. Jika Ja’far gugur pula, pimpinan harus di ambil alih oleh ’Abdullah bin Rawahah. Jika Abdullah gugur pula,maka pimpinan di pilih oleh seseorang kaum muslimin diantara kita.”
Pasuakn berangkat sehinggasampai di ma;an, sebelah timur yordan. Sampai disana ternyata heraklius penguasa Rum telah siap menunggu sengan seratus ribu kaum musyrikin ‘Arab. Jumlah tentara yang sebesar itu berkumpul tidak jauh dari posisi tentara muslim.
Kaum muslimin bermalam dua malam, memusyawarakan kebijakan yang harus mereka ambil. Ada yang mengusulkan supaya mengirim surat kepada Rasulullah. Melaporkan situasi dan jumlah musuh, dan menununggu perintah selanjutnya. Yang lain mengatakan, “Demi Allah! Kita tidak berperang karena bilangan, mengandalan kekuatan senjata dan jumlah yang banyak. Kta berperang demi agama ini. Karena ini maju terus seperti rencana semula. Allah telah menjamin bagi kita salah satu dari keuntungan: menang perang atau mati syahid.
Kedua bertemu di mu’tah. Kaum muslimin berperangmencenggangkan tentara rum dan menyebabkan mereka hormat penuh ketakutan. Tiga ribu tentara menghadapi duaratus ribu musuh.
Zaid bin Harutsah bertempur mempertahankan bendera rasulullah dengan semangat dan keberanian yang tak ada taranya dalam sejarah kepalahwanan. Sampai tubuhnya remuk terkena seratus anak panah, kemudian dia jatuh terbanting bermandikan darah . dia syahid menemui allah sambil mengibarkan bendera rasulullah.
Bendera komando itu segera di rebut oleh ja’far bin abi thalib sebagai komandan pengganti pertama. ja’far bertarung dan mengibarkan bendera komando, sehingga dia syahid pula menyusul zaid. Bendera komando segera pula di raih abdullah bin rawaha’ah. tetapi kemudian abdullah terkena panah musuh oleh pemanah jitu. diapun syahid menyusul ke dua sahabat yang mendahuluinya.
Kaum muslimin memilih kholit bin walid menjadi komandan pengganti. ketika itu khalid baru beberapa lama masuk islam. dia menyerah kan tentara nya dan menyelamatkan mereka dari medan bakti.
Berita perang dan tewas nya tiga orang perwira yang di angkat rasulullah segera sampai kepada beliau. beliau sangat sedih menerima berita tersebut. rasulullah pergi mengunjungi warga mereka untuk menghibur. ketika rasulullah datang di rumah zaid bin haritsah, anak zaid yang masih kecil menggapai beliau sambil menangis. melihat kenyataan seperti itu rasullah terharu lalu beliau menangis pula sehingga tangis nya deras kedengaran.
Kata sa’ad bin ubadah, “mengapa anda menjadi begini ya rasulullah?”
Jawab beliau, ‘ini tangissan bapak menangisi anak yang di kasih nya

SA’ID BIN ZAID

“ Wahai  allah,jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, jaganlah anakku Sa’id di haramkan pula dari padannya.”(Doa Zaid untuk anaknya Sa’id)
              ZAID BIN AMR BIN NUFAIL berdiri di tengah-tengah orang banyak yang berdesak-desakan menyaksikan kaum Quraisy berpesta merayakan salah satu hari besar mereka. Kaum pria memakai serban sundusi yang mahal,yang kelihatannya seperti kerusung Yaman yang lebih mahal.Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus dan warnanya menyala,dan megenakan perihasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun di pakaikan bermacam-macam perhiasan di tarik orang untuk di sembelih di hadapan patung-parung yang mereka sembah.
               Zaid bersandar ke dinding Ka’bah seraya berkata, ”hai kaum Quraisy! Hewan itu di ciptakan oleh Allah.Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan,supaya hewan-hewan itu makan sekenyang-kenyangnya.kemudian kalian sembelih hewan-hewan itu tanpa menyebut nama ALLAH.sunguh bodoh dan sesat kalian.” Al-Khatthab ayah “Umar bin Khatthab berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Kata al-khatthab, “kurang ajar kau! Kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu. Namun kami biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis! Kemudian dihasutnya orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar di sakiti merekadengan sungguh-sungguh sehingga dia terpaksa menyingkir dari kota makkah ke bukit Hira’.
              Al-Khatthab menyerahkan urusan Zaid kepada sekelompok pemuda quraisy untuk menghalangi-halanginya masuk kota. Karena itu Zaid terpaksa pulang dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian Zaid bin ‘Amr bin Nufail berkumpul ketika orang-orang Quraisy lengah bersama-sama dengan waraqah bin naufal. ‘Abdullah bin Jahsy, ‘Utman bin Harits, dan Umaimah binti ‘Abdul ‘Muthalib bibiNabi Muhammad Saw.  Mereka berbicara mengenai kepercayaan masyarakat Arab yang sudah jauh tersesat. Kata Zaid, “Demi Allah! Sesungguhnya saudara-saudara sudah maklum bangsa kita sudah tidak mempunyai agama. Mereka sudah sesat dan menyeleweng dari agama ibrahim yang lurus. Karena itu marilah kita pelajari suatu agama yang dapat kita pegang jika saudara-saudara ingin beruntung.”

             Keempat orang itu pergi menemui pendeta-pendeta yahudi, nasarani, dan pemimpin-pemimpin agama lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama ibrahim yang murni. Waraqah bin naufal menyakini agama nasarani. ‘Abdullah bib Jashy dan ‘Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa. Sedangkan Zaid bib Amr bin nufail mengalami kisa tersendiri. Marilah kita dengar ceritannya.
             Kata Zaid, “saya pelajari agama yahudi dan nasarani. Tetapi keduanya saya tinggalkan karena saya tidak memperoleh sesuatu yang dapat menentramkan hati saya dalam kedua agama tersebut. Lalu saya berkelana  ke seluruh pelosok mencari agama ibrahim. Ketika saya sampai ke negeri syam, saya diberitahukan tentang seorang rahib yang mengerti ilmu kitab. Maka saya datangi rahib tersebut, lalu saya ceritakan kepadanya pengalaman saya belajar agama.” Kata rahib tersebut, “Saya tahu anda sedang mencari agama ibrahim, hai putrah makkah.”
    Jawabku, “Betul, itulah yang saya inginkan!”
             Kata rahib, “anda mencari agama yang dewasa ini sudah tak mungkin lagi ditemukan. Tetapi pulanglah anda ke negeri anda. Allah akan membangkitkan seorang nabi di tengah-tengah bangsa anda untuk menyempurnakan agama ibrahim. Bila anda bertemu dengan dia, tetaplah anda bersamanya.” Zaid berhenti berkelana. Dia kembali ke makkah menunggu nabi yang dijanjikan. Ketika zaid sedang dalam perjalanan pulang Allah mengutus muhammad menjadi Nabi dan Rasul dengan agama yangg hak. Tetapi zaidbelum sempat bertemu dengan beliau, dia dihadang perampok-perampok badui di tengah jalan danterbunuh sebelum dia sampai kembali ke makkah. Waktu dia akan menghembuskan nafasnya yang terakhir, Zaid menengadah ke langit dan berkata, “Wahai Allah! Jika engkau mengharamkanku dari agama lurus ini. Maka janganlah anakku said diharamkan pula dari padanya.”
            Allah memperkenankan do’a Zaid. Serentak Rasulullah mengajak orang banyak masuk islam, sa’id segerah memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor orang-orang yang beriman dengan Allan dan membenarkan kerasulan Nabi-Nya, Muhammad Saw.!
            Tidak mengherankan kalau sa’id secepat itu memperkenankan seruan muhammad. Sa’id lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang sesat itu. Sa’id dididik dalam kamar seorang ayah yang sepanjag hidupnya giat mencari agama yang hak. Bahkan dia mati ketika sedang berlari kepayahan mengejar agama yang hak. Sa’id masuk islam tidak seorang diri. Dia masuk islam bersama istrinya, Fathimah binti Al-khatthab, adik perempua umar bin khatthab. Karena pemuda Quraisy ini masuk islam, dia disakiti dan dianiaya, dipaksa oleh kaumnya supaya kembali kepada agama mereka. Tetapi jangankan orang Quraisy berhasil mengembalikan Sa’id suami istri kepada kepercayaan nenek moyang mereka, sebaliknya sa’id dan istrinya sanggup menarik seorang laki-laki Quraisy yang paling berbobot baik fisik maupun intelektualnya dalam islam. Mereka berdualah yang telah menyebabkan ‘Umar bin khatthab masuk islam.
            Sa’id bin Zaid bin ‘amr bin Nufail membankitkan segenap daya dan tenaganya yang muda untuk berkhidmat kepada islam. Ketika dia masuk islam umurnya belum lebih dari dua puluh tahun. Dia turut berperang bersama-sama Rasulullah dalam setiap peperangan, selain peperangan badar. Ketika itu dia sedang melaksanakan suatu tugas penting lainnya yang ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dia turut mengambil bagian bersama-sama kaum muslimin mencabut singgasana Kisra persia dan menggulingkan ke kaisaran Rum. Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin dia selalu memperlihatkan penampilan dengan reputasi terpuji. Agaknya yang paling mengejutkan ialah reputasinya yang tercacat dalam peperanga yarmuk. Marilah kita dengarkan sedikit kisahnya pada hari itu.
            Berkata sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nafail, “ketika terjadi perang yarmuk pasukan kami hanya berjumlah 24.000 orang tentara. Sedangkan tentara Rum yang kami hadapi berjumlah 120.000 tentara. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah yang mantap bagaikan sebua bukit yang digerakkan tangan-tangan tersembunyi dimuka  sekali berbaris pendeta-pendeta, perwira-perwira tinggi/palingma-panglima dan paderi-paderi yang membawa kayu salib sambil mengeraskan suara membaca do’a. Do’a itu diulang-ulang oleh tentara yang berbaris di bellakang mereka dengan suara mengguntur.”
            Tatkalah tentara kaum muslimin melihat musuh mereka seperti itu, kebanyakan mereka terkejut, lalu timbul takut di hati mereka. Abu ‘Ubaidah bangkit  mengobarkan semangat jihad kepada mereka. Kata abu ‘Ubaidah dalam pidatonya, antara lain, “wahai hamba-hamba Allah! Menangkan agama Allah! Pasti Allah akan menolong kamu, dan memberikan kekuatan kepada kamu! Wahai hamba-hamba Allah! Tabahkan hati kalian! Karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran; jalan mencapai keridhaan Allah, dan menolak kehinaan. Siapakah lembing dan perisai! Tetaplah tenang dan diam! Kecuali dzikrullah dalam hati kalian masing-masing.
   Tungguh perintah dari saya selanjutnya! Insya Allah!”
            Kemudian sa’id melanjutkan ceritanya.tiba-tiba seorang prajurit muslim keluar dari barisan dan berkata kepada Abu ‘Ubaidah, “saya ingin syahid sekarang. Adakah pesan-pesan anda kepada Rasulullah?”
            Jawab abu ‘ubaidah, “Ya, ada! Sampaikan salam saya dan salam kaum muslimin kepada beliau, sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan kepada tuhan kami benar-benar terbukti!” sesudah dia mengucapkan kata-katanya itu, saya lihat dia menghunus pedang dan terus maju menyerang musuh-musuh Allah. Saya membanting diri ke tanah, dan berdiri diatas lutut saya. Saya bidikkan lembing saya, lalu saya melompat menghadang musuh. Tanpa terasa, perasaan takut lenyapdengan sendirinya di hati saya. Tentara muslimin bangkit menyerbu tentara Rum. Perang berkecamuk segera berkobar dengan hebat. Akhirnya Allah memenangkan kaum muslimin.
            Sesudah itu sa’id bin Zaid turut berperang menaklukkan Damasyiq. Setelah kaum muslimin memperlihatkan kepatuhan, abu ‘ubaidah bin jarrah mengangkat sa’id bin zaid. Menjadi wali disana. Dialah wali kota pertama dari kaum muslimin setelah kota dikuasai. Dalam masa pemerintahan bani umaiyah, merebak suatu isyu dalam waktu yang lama di kalangan penduduk yatsrib terhadap sa’id bin zaid. Yakni seorang wanita bernama arwa binti uwais menuduh sa’id bin zaid telah merampas tanahnya dan menggabungkannya dengan tanah sa’id sendiri. Wanita tersebut menyebar-menyebarkan tuduhannya itu ke seantero kaum muslimin , dan kemudian mengadukan perkaranya kepada marwan bin hakam, wali kota madinah ketika itu.
Marwan mengirim beberapa petuga kepada sa’id menanyakan perihal tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah ini  merasa prihatin atas tuduhan yang dituduhkan kepadanya itu. Kata sa’id, “dia menuduhku menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatasan dengan tanah saya). Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya telah mendengar Rasulullah bersabda: siapa saja yang mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal,nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya. Wahai Allah! Dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhannya itu palsu, butahkanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya.”
Tidak berapa kemudian, terjadi banjir yang belum pernah terjadi seperti itu sebelunya. Maka tebukalah tanda batas tanah sa’id dan tanah arwa yang mereka perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti, sa’idlah yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan sesudah itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketkannya, dia pun jatuh ke dalam sumur. Perisiwa itu sesungguhnya tidak begitu menherankan. Karena rasulullah bersabda:
  “takutilah do’a orang teraniaya. Karena antara dia dengan allah tidak ada batas.
Maka apapulah lagi kalau yang teraniaya salah seorang dari sepuluh sahabat yang telah dijamin beliau masuk surga, sa’id bin zaid.