Rabu, 23 Mei 2012

Pemimpin yang Adil


Semua orang bisa menjadi pemimpin. Namun, tidak semua orang mampu menjadi pemimpin yang adil. Sebab, pemimpin yang adil merupakan pemimpin yang didambakan oleh rakyatnya. Pemimpin yang adillah yang akan mampu membawa kebaikan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kita semua adalah pemimpin, setidak-tidaknya pemimpin bagi diri kita sendiri. Dan karena itu, maka setiap kita suatu saat akan mempertanggung jawabkan kepemimpinan kita itu.

Terlebih lagi sebagai pemimpin negara, orang yang dipercaya memimpin rakyatnya, diharapkan mampu memenuhi keingnan rakyat tersebut. Keadilan merupakan harapan terbesar bagi rakyat sebuah negara. Sering pula, masalah keadilan menjadi batu sandungan bagi seorang menjadi pemimpin.

Rasulullah saw menyatakan bahwa ada tiga orang yang tidak ditolak do’anya, yaitu orang yang berpuasa hingga ia berbuka, pemimpin yang adil, dan orang yang teraniaya (HR Ahmad dan Tirmidzi). Begitulah ketentuan Allah SWT bagi pemimpin yang adil. Do’a merupakan senjatanya umat manusia. Manusia yang tak mau berdo’a adalah manusia yang angkuh, sombong, serta balasannya tentu dosa.

Kembali kepada masalah peminpin. Untuk mendapatkan pemimpin yang adil ada beberapa hal yang harus kita perhatikan.

Pertama. Tidak menggunakan kekuasaannya untuk menindas orang-orang yang dipimpinnya. Banyak kejadian di dunia ini dimana pemimpinnya menjadikan rakyatnya sebagai budak. Rakyat dipaksa melakukan apapun yang diperintahkan oleh pemimpinnya demi kekuasaan, kekuatan, dan keserakahan pemimpinnya. Bagitu banyak rakyat yang terzhalimi hak-haknya hanya demi memenuhi ambisi pemimpinnya. Pemimpin yang seperti ini alih-alih membuat rakyatnya sejahtera, justru membawa penderitaan.

Kedua. Tidak menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri, keluarga, atau orang lain yang ada hubungannya dengan diri pemimpin tersebut. Banyak yang setelah diangkat menjadi pemimpin, setelah memimpin justru sibuk memperkaya diri, keluarga, dan orang-orang terdekatnya. Ia lupa dengan kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya, yang memerlukan bantuan dari sang pemimpin. Kepemimpinan selalu bersama dengan kekuasaan. Dengan kekuasaan tersebut seorang pemimpin dapat melakukan apa saja. Ia dapat melakukan sesuatu yang akan membawa kebaikan bagi rakyatnya atau justru sebaliknya. Begitu banyak kenyataan didepan kita, bagaimana seorang pemimpin yang justru terjebak pada usaha memperkaya diri sendiri.

Ketiga. Tidak menggunakan kekuasaannya untuk membuat aturan yang menguntungkan dirinya sendiri. Diantara pemimpin yang telah kita pilih, ada pemimpin yang mengatur sendiri aturan negara agar berpihak kepadanya. Peraturan perundang-undangan dibuat dan tafsir sesuai keinginannya. Pemimpin seperti ini justru akan membawa malapetaka bagi rakyatnya. Semua aturan harus disesuaikan dengan kepentingan sang pemimpin.

Keempat. Menjadikan hukum sebagai panglima. Sesungguhnya, masalah keadilan tidak hanya sebatas berhubungan dengan hukum semata. Tetapi, hukum merupakan tonggak pertama yang harus ditegakkan agar masalah-masalah yang lain dapat diselesaikan dengan baik. Apabila pemimpin menggunakan hukum sebagai alat untuk menindas rakyatnya, bersiap-siaplah untuk menuju kehancuran. Hukum menjadi senjata untuk melanggengkan kekuasaan. Pemimpin seperti ini merupakan merupakan iblis atau setan yang siap menjerumuskan rakyatnya kejurang kehancuran, penderitaan, dan keterbelakangan.

Kita tentu berharap bahwa pemimpin-pemimpin kita merupakan pemimpin yang adil. Kita juga berharap bawah selain do’anya orang yang berpuasa, do’anya orang yang teraniaya, do’anya para pemimpin akan dikabulkan oleh Allah SWT. Atau apakah belum adanya perubahan ke arah kemajuan yang kita cita-citakan selama ini karena beluma adanya pemimpin yang adil di negeri yang kita cintai ini ? Wallau ‘alam.


Pemimpin yang Adil Lahir dari Ketaatan Kepada Allah SWT

Seperti biasanya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab menghabiskan sebagian malamnya untuk meronda, melihat kondisi umat yang dipimpinnya dari dekat. Tak terasa malam terus beranjak. Fajar pun mulai terkuak. Ketika melewati sebuah gang, tiba-tiba ayunan langkahnya tertahan. Dari bilik sebuah rumah kecil, ia mendengar seorang ibu sedang bercakap dengan putrinya.

“Tidakkah kau campur susumu ? Hari sudah menjelang pagi,” kata ibu itu kepada anaknya. “Bagaimana mungkin aku mencampurnya Amirul Mukminin melarang perbuatan itu,” sahut si anak. “Orang-orang juga mencampurnya. Campurlah! Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” balas sang ibu. “Jika Umar tak melihatnya, Tuhannya Umar melihatnya. Aku tidak mau melakukan karena sudah dilarang,” Jawab si anak yang sungguh menyentuh hati Umar.

Setelah menyaksikan percakapan seorang ibu dengan anaknya tersebut, Umar bin Khattab bergegas pulang dan memanggil anaknya Asim untuk menikahi gadis tersebut dan disertai dengan ketaatan kepada ayahnya, maka Asim menyatakan kesediaannya. Saat itu Umar berharap seraya berkata "Semoga lahir dari keturunan gadis ini seorang pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.

Dari pernikahan Asim bin Umar bin Khattab dengan gadis anak dari wanita penjual susu tersebut terlahir seorang wanita bernama Laila atau yang lebih dikenal dengan Ummu Asim binti Asim, dan dari pernikahan Ummu Asim binti Asim dengan Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik, lahirlah Umar bin Abdul Aziz, yang sering disebut khalifah kelima setelah Ali bin Abi Thalib karena keadilannya.

Sahabat Ibnu Umar ra berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam rumah tangga, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinanya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Pembantu rumah tangga adalah pemimpin dalam menjaga harta kekayaan tuannya, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Dan setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Syarat-Syarat Menjadi Pemimpin

Dalam konteks kepemimpinan, Nabi Muhammad hanya meminta syarat agar seorang pemimpin bisa berlaku adil. Hal ini misalnya diceritakan oleh As Syaikhani yang meriwayatkan hadis tentang tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari pembalasan (akhirat). Dari tujuh golongan itu, pemimpin yang adil ditempatkan atau disebut pertama kali oleh Nabi.

Mungkin saja penempatan itu hanya sekedar redaksi perkataan dari Nabi. Artinya posisi dari ketujuh golongan itu tak ada yang lebih istimewa satu sama lain— ketika kelak akan menempatkan pertolongan Allah. Namun bisa jadi juga, diletakkannya pemimpin yang adil pada urutan pertama dari tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah, mengandung maksud untuk mengistimewakan kedudukan seorang pemimpin yang adil dibanding enam kelompok manusia lainnya. Jika diperhatikan dengan baik dari tujuh golongan manusia yang dijamin oleh Nabi akan memperoleh ampunan Allah itu, semuanya menyangkut urusan pribadi dengan Allah kecuali pemimpin yang juga berurusan dengan banyak orang (yang dipimpin).

Hadist yang lain, yang mengatakan bahwa setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya, harus diterjemahkan pula sebagai sebuah ancaman serius dari Allah dan Rasul terhadap pemimpin yang tidak berlaku adil. Sampai pada titik ini dapat dimengerti mengapa kedudukan pemimpin lalu menjadi istimewa. Dia dijanjikan akan masuk surga pertama kali, sekaligus diancam akan menjadi penghuni neraka juga dalam rombongan awal.

Adil sebagai pemimpin tak harus dipahami hanya dalam soal memutus sebuah perkara. Namun adil yang diminta kepada pemimpin adalah juga mencakup aspek kesanggupan untuk selalu menjaga amanah (jujur), tidak khianat, mampu melindungi yang dipimpin (tidak otoriter) dan perilakunya bisa menjadi contoh (memberi inspirasi). Termasuk adil, jika seorang pemimpin mengakui dirinya tak bisa memimpin lagi dan memberi kesempatan kepada yang ahli untuk menggantikkannya. Bukankah imam shalat yang kentut harus membatalkan shalatnya dengan mundur selangkah agar diganti makmun yang berdiri di belakangnya?

Syarat-syarat itu niscaya tak akan bisa dipenuhi oleh pemimpin manapun melainkan mereka yang berpegang teguh kepada ajaran Allah dan Rasulnya. Bercermin pada akhlaq Nabi, seorang pemimpin akan bisa berbuat adil jika paling tidak, mewarisi empat sifat Nabi. Empat sifat Nabi itu adalahA man ah (tidak korup),F athanah (cerdas),

Tabligh (mampu berdiplomasi), dan Siddiq (bnar, dipercaya atau jujur).

Dalam literatur lain malah ditambahkan beberapa syarat sebagai berikut :

1.Beriman dan beramal saleh. Ini sudah pasti tentunya. Kita harus memilih pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh.

2.Beril mu, Para pemimpin harus mempunyai ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu akherat. Karena dengan ilmu ini maka akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun spiritual, baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan manusianya itu sendiri.

3.Juj ur. Ya, seorang pemimpin tentunya harus jujur. Apa yang disampaikan kepada masyarakat tentunya harus dilaksanakan, dan apa yang dikatakannya hendaknya harus sesuai hendakyan dengan perbuatannya.

4.Te gas. Merupakan sikap seorang pemimpin yang selalu di idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan berarti otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah, SWT dan rasulnya.

5.A mana h, bertanggung jawab. Maksudnya adalah melaksanakan aturan-turan yang ada dengan sebaik-baiknya dan bertanggungjawab terhadap peraturan yang telah dibuat. Dan tentunya peraturan yang dibuat itu yang berpihak kepada rakyat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar